
ELANGNEWS.COM, Jakarta – Maraknya perdebatan seputar keputusan Presiden Jokowi yang mencabut limbah abu batubara atau dikenal dengan fly ash bottom ash (FABA) melalui PP Nomor 22 Tahun 2021 membuat KPK ikut angkat bicara.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar menjelaskan beberapa kelemahan yang ada pada peraturan pemerintah nomor 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang memasukan limbah FABA sebagai limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) dalam diskusi media ‘Menjawab Dilema FABA’, Senin (22/3/2021).
Lili mengatakan, pada 2020, KPK telah melakukan kajian terkait pengelolaan limbah FABA Batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Kelamahan itu antara lain dari hasil studi literatur didapatkan bahwa pengkategorian FABA sebagai limbah B3 ini ternyata tidak sesuai dengan praktik di berbagai negara internasional,” lanjut Lili, “Jepang, Amerika Serikat, Austrailia, China, Eropa, ternyata mengkategorikan FABA sebagai limbah non B3,” ujarnya.
Lili juga menjelaskan bahwa peraturan pemerintah terkait pengelolaan limbah yang memasukan limbah FABA ke limbah B3, menjadi pemicu peningkatan pembiayaan, seperti Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN di tahun 2019 sebesar 74 rupiah per KWH.
Akibatnya, pembangkit-pembangkit listrik di luar Pulau Jawa seperti PLTU Labuan Angin di Sumatera ikut terpengaruh secara signifikan sekira 790,65 rupiah per KWH.
Masuknya limbah FABA sebagai limbah B3, menurut Lili, dapat meningkatkan potensi terjadinya tindak korupsi khususnya pada tata kelola FABA.
Selain itu, juga mengurangi peluang pada pemanfaatannya secara maksimal sebagai bahan baku pada industri konvensional.
“Dengan nilai potensi Rp300 triliun pada industri maju atau nano teknologi dengan nilai tambah yang berlipat,” ucap Lili.
Meski demikian, KPK memastikan terus melakukan monitoring baik dari sisi regulasi dan kebijakannya serta implementasinya oleh PLN dan kementerian/lembaga terkait.
“Untuk menjamin bahwa ke depan pengelolaan FABA ini dilakukan dengan baik sesuai dengan internasional best practicenya KPK,” pungkas Lili. (trd/red)