
ELANGNEWS.COM, Kupang – Situs Private Island Online bikin geger. Situs ini menawarkan 8 pulau di Indonesia untuk dijual. Adapun 8 pulau yang dijual, yakni Pulau Tojo Una Una, Sulawesi Tengah, Pulau Gili Tangkong, Lombok Barat, NTB. Pulau Ayam, Kepulauan Riau, Pulau Panjang, Pulau Kembung dan Yudan Kepulauan Anambas Riau, Pulau Sumba, NTT, Pantai Selancar, Pulau Sumba, Pulau Pulau A-Frames, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Pemerintah RI lalu sibuk klarifikasi. Dicek sana sini, lintas kementerian, lintas kantor, lintas institusi. Hasilnya, berita ini HOAX. Pulau-pulau di republik ini tidak bisa dijual karena tidak diatur dalam undang-undang. Yang bisa adalah pulau-pulau itu dikontrakkan kepada pihak ketiga sesuai regulasi yg berlaku. Jadi jelas, dijual tidak, dikontrakkan bisa. Basisnya regulasi.
Saya pun teringat diskusi hangat di group WA Riung Diaspora pertengahan bulan Desember 2020 kemarin. Saat itu, Wakil Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) berkunjung ke Riung. Ia tidak datang sendiri karena ternyata ada wakil rakyat NTT dan juga investor. Mereka menikmati indahnya pariwisata Riung.
Selepas mereka pulang, soal muncul. Masyarakat mendapat informasi bahwa 4 pulau di kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Riung: Pulau Bampa, Pulau Tiga, Pulau Rutong dan Pulau Mborong sudah memiliki izin kontrak oleh investor. Izinan itu seluas 30 Ha, arena untuk bangunan 10 persen dari luasan itu yakni 3 Ha. Lama kontrak 50 tahun. Para investor akan membangun resort dan budidaya perikanan.
Diskusi dalam group itu menjadi panas? Kenapa tiba-tiba saja investor sudah dapat izin? Sementara pemerintah lokal setempat dan masyarakat tidak mengetahui atau tidak terlibat dalam proses hingga izin itu keluar? Konsultasi publik sebagai salah satu syarat dan persetujuan masyarakat setempat tidak ada. Lalu, kok tiba-tiba saja investor sudah kantongi izin? Ini pekerjaan mafia mana lagi? Itu baru soal izin. Belum lagi soal dampak ekonomi, sosial dan lingkungan bagi rakyat.
Informasi sepihak bahwa proses perizinan sudah ‘diatur’ dari atas karena regulasinya memungkinkan demikian. Enak benar ya. Rakyat yg berdaulat malah diabaikan dalam proses itu. 50 tahun kontrak, kompensasinya apa untuk rakyat?
Nasib 4 Pulau di kawasan TWAL Riung yg katanya sudah mendapat izin kontrak oleh investor hemat saya akan menuai persoalan di lapangan jika tidak mengikuti proses yg benar, transparan dan melibatkan masyarakat setempat. Ini ibarat bom waktu. Kuasa ada batasnya. Uang ada limitnya. Tapi kedaulatan rakyat terus bertumbuh dan lestari. Jika tidak diatur baik, bara konflik terus dikipas-kipas. Bukankah dgn pendekatan macam ini, mengontrakkan pulau tanpa persetujuan rakyat ibarat menjual pulau juga?
Dalam satu kesempatan saya pulang kampung. Dapat cerita beragam di sana. Di pinggir pantai pasir putih kami, tanah sudah dikapling. Katanya empunya sang politisi di Jakarta. Jalan-jalan ke wilayah Pantura Riung, dapat kabar tanah di sana sudah dikuasai oleh para pejabat top di Jakarta dan Kupang. Coba cek di sekitar daerah wisata anda, tanah-tanah itu masih milik rakyat atau sudah milik para pemodal? Memang benar berlakulah hukum ekonomi di sini: permintaan dan penawaran, keinginan dan kebutuhan, gaya hidup dan dasar hidup. Tanah-tanah rakyat perlahan-lahan dibeli karena ‘mereka butuh uang’.
Pada sisi rakyat, karena tidak ada penyadaran dan pemahaman yg baik soal ini, maka kadang oleh alasan gaya hidup, terlepaslah tanah-tanah ini. Formulanya sama: follow the money and the money will follow you. Eksesnya, konflik sosial terjadi. Keluarga pecah. Saling lapor, saling klaim, saling tuntut gara-gara tanah.
Pagi ini saya baca Pos Kupang. Di halaman 8, Senator NTT, Paul Liyanto bilang praktik mafia tanah di republik ini sudah menggurita. Banyak pihak terlibat dari hulu hingga ke hilir. Pihak2 yg terlibat mulai dari oknum tua adat atau pemilik tanah ulayat. Mereka bekerja sama dfn oknum pengacara untuk gugat tanah yg punya sertifikat. Kerja sama itu juga libatkan RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan hingga pemerintah daerah.
Oknum badan pertanahan juga terlibat. Kalau masuk pengadilan, para mafia ini sudah punya jaringan di sana mulai pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Praktik ini juga libatkan investor kasus. Ada oknum pengusaha terlibat. Targetnya, setelah gugatan berhasil dimenangkan, tanah tersebut dibeli investor tentu dgn harga yg tidak terlalu mahal karena mereka adalah bagian dari sindikat kasus. Itulah kerjanya para mafia tanah.
Mari kita jaga tanah air kita. Yang suka jadi mafia tanah, pasti dimakan tanah. Ingat kisah Yudas Iskariot dan tanah darahnya. Hidup para pengkhianat adalah mati ‘dimakan tanah’. Jaga tanah air kita supaya tidak digadai hanya gara2 tuntutan gaya hidup dan korban iklan. Karena tanah adalah kehidupan maka ia akan mencari keadilannya sendiri.**
Isidro Lilijawa